Facebook dalam Tinjauan Hukum Islam

- 08.00

Facebook dalam Tinjauan Hukum Islam

 

"Facebook (Fb) Helps you connect and share with the people in your life", demikianlah slogan satu dari sekian banyaknya medsos, yakni Faceebook. Jika kita baca yang dengannya teori "Tujuan" (Maqaashid/purpose), maka keberadaan Fb itu menjdai "perantara" ataupun sarana (wasiilah/tool). Sementara "Tujuan Fb" pada awal mulanya (Maqashid Asal Fb) itu sendiri merupakan "terwujudnya jalinan silaturrahim" dalam piranti ukhuwwah, baik ukhuwwah basyariah, wathaniyah (nasionalisme), maupun ukhuwwah Islamiyyah. Jika menilik semangat awal yng diusung oleh si penggagas Fb sebagaimana tercermin dalam slogannya yang telah di sebutkan (terwujudnya jalinan silaturahim), maka kita bisa mengatakan bahwasanya mempergunakan Fb itu hukumnya minimal sunnah. Namun, andai dilihat dari Fb menjdai sesuatu yng netral, maka kita mampu mengatakan bahwasanya ber-Fb itu hukum awal mulanya boleh ataupun mubah. Meskipun demikian, hukum asal penggunaan Fb menjdai sarana (al-wasiilah) ini mampu saja berganti menjadi wajib malah haram bergantung tujuan (maqaashidnya)
Yang butuh kita sadari bahwasanya Medsos (facebook wa akhawaatuhu) yng notabene menjdai sarana (al-wasiilah), merupakan sesuatu yng netral, kadang mampu menyesatkan, namun kadang pun tidak sedikit memberikan kebaikan, "yudhillu bihi katsiira wa yahdi bihi katsiira, demikian ungkapan bahasa Agama". Jikalau keberadaan medsos sebenarnya mampu memberikan tidak sedikit manfa'at (yahdii bihi katsiira) contohnya memperluas jaringan silaturrahim (mendekatkan yng jauh), maka ber-medsos mampu jadi Amat dianjurkan malah diwajibkan. Dalam kajian ushul fiqh, utamanya di kalangan pengikut Madzhab Maliki, anjuran semisal ini dikenal yang dengannya istilah "pembukaan sarana (fath al-dzari'ah) sebagai perluasan dari metode klasik "pemblokiran sarana" (sadd al-dzari'ah). Sebaliknya, jika aktivitas ber-medsos justru malah menyebabkan banyak kemadharatan (yudhillu bihi katsiira), semisal menjauhkan yang dekat, memicu viral kebencian, menyebarkan informasi hoax dan sebagainya, maka "memblokir sarana Fb" ini menjadi sesuatu yng pun Amat dianjurkan malah menjadi sebuah kemestian (sadd al-dzari'ah). Memblokir sarana berguna melarang sebuah aksi yng legal (asal mempergunakan Fb boleh/legal) lantaran ditakutkan akan berimplikasi pada aksi yng ilegal (penistaan ulama, penyebaran informasi hoax). Ulama sepakat bahwasanya pelarangan itu cuma bisa diberlakukan andai mungkin terjadinya aksi ilegal itu melebihi mungkin tak terjadinya. [Jasser Auda, Maqashid Syari'ah: A Beginner's Guide, 40; juga Abu Zahrah, Ushul Fiqh, 271].
Sementara itu, dalam kaitannya yang dengannya ini, Imam al-Qarafi membagi peraturan syariat ke dalam sarana-sarana (al-wasaa'il) serta tujuan-tujuan (al-maqaashid). Beliau pun merekomendasikan agar diblokirnya sarana-sarana (Fb serta saudara-saudaranya) yng menghasilkan terjadinya tujuan yng ilegal (mencaci, hoax, pencemaran nama baik, dll), serta agar dibukanya sarana-sarana (diperbolehkan malah dianjurkan ber-Fb an) yng mengantarkan kepada tercapainya tujuan-tujuan legal (menjalin silaturrahim, berdakwah, menyebarkan ilmu, dll). Maka, dalam hal ini berlaku kaidah bahwasanya "hukum sarana (hukum Fb) semisal halnya status hukum yng ada pada tujuan" (lil wasaa'il kahukmil maqaashid). [Al-Qarafi, al-Furuuq, II/60].

Lebih jauh, Al-Qarafi mengaitkan tingkatan sarana ini (al-wasaail, Fb) yang dengannya jenjang tujuan (al-maqaashid), dimana beliau mengintrodusir 3 jenjang tujuan (maqaashid). Pertama, tujuan yng paling tidak bagus (aqbah, penistaan ulama serta agama misalnya), dimana sarana (penggunaan Fb) yng mengantarkan kepada tujuan yang telah di sebutkan Perlu diblokir/sadd al-dzari'ah (minimal oleh user-nya sendiri, syukur-syukur oleh pemerintah didasari UU IT). Kedua, tujuan ataupun maqaashid yng paling baik (afdhal, misalnya menyebarkan ilmu, menjalin hubungan silaturrahim, berdakwah, dst....), di mana sarana ataupun wasiilah (Fb misalnya) yng mengantarkan kepadanya (maqaasid li nasyril 'ilmi wa da'wah wa washlil arhaam) Perlu dibuka (fath al-dzari'ah). Dan ketiga, tujuan yng tengah-tengah (al-maqaashid al-mutawassithah, misalnya tujuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk refreshing), di mana sarana ataupun wasiilah (mempergunakan Fb) yng mengantarkan kepadanya (maqaashid refreshing) diperbolehkan, atau juga boleh refreshing yang dengannya mempergunakan Fb. [Auda, 43]
Walhaasil, dalam rangka merealisasikan "Maqashid Awal Fb", yakni "terwujudnya jalinan silaturrahim dalam tiga kerangka ukhuwwah" sebagaimana disinggung di atas, maka menjdai ikhtiyar awal, butuh kiranya dirumuskan langkah-langkah metodologis dalam mempergunakan medsos, utamanya Fb menjdai bapak dari Madsos, berikut:
1) kita Perlu meluruskan niat. Awali yang dengannya motivasi-motivasi mulia menjadikan tak menjauhkan aktivitas jamaah Facebook-iyah dari Ridho Allah SWT. Misalnya, niat berdakwah, menjalin ukhuwwah, menambah wawasan serta pengetahuan, membagikan inspirasi, serta kalam pesan tersirat, dan motivasi kepada kebajikan. Hal ini sejalan yang dengannya teori motivasi yng mengatakan bahwasanya segala sesuatu itu bergantung pada niatnya (al-umûru bimaqâshidihâ).
2) kita Perlu memastikan bahwasanya konten yng akan kita tulis dalam akun Facebook merupakan sesuatu yng positif, bukan sekadar lipe-service (sesuatu yng cuma abal-abal), apalagi memiliki kandungan unsur kebohongan (hoax). Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW cuma memberikan dua preferensi ataupun dua pilihan, yaitu “Bertuturlah secara baik, jika tidak maka diamlah (qul khairan aw liyashmut).” Pemaknaan kontekstualnya merupakan “online-lah secara bijak, jika tidak maka offline lebih baik bagimu.” Jangan sekalikali mengabaikan pesan Nabi ini, mengingat tidak sedikit di antara jamaah Facebook-iyah yng kesandung masalah lantaran terlalu ceroboh dalam bertutur kata di dunia maya. Ingat, “Kicauanmu bisa kacaukan hidupmu!”
3) kita Perlu mempergunakan jejaring sosial secerdas serta seefektif mungkin. Jangan terlalu berlebihan. Jangan hingga aktivitas Facebook-kan menurunkan prestasi kerja serta produktivitas, apalagi hingga membuat kita lalai dari ibadah. Jika demikian yng terlaksana, sungguh Facebook sudah menjadi Abu Jahal modern yng siap menggerogoti kita. Bukankah Nabi telah berpesan bahwasanya “Sebagian tanda dari ke-Islam-an seseorang yang baik adalah ketika ia mampu meninggalkan hal-hal yang tidak bernilai guna (min husn islamil mar’i tarkuhu mâ lâ ya’nihi).” Jadi, kita Perlu menimbang serta sekalian memastikan bahwasanya keberadaan Facebook memiliki kandungan kemashlahatan lebih besar dari pada mudaratnya. Jika tak, maka memutus hubungan yang dengannya mahluk Facebook tentu menjadi prioritas utama. Hal ini sejalan yang dengannya kaidah “Menolak kerusakan harus diprioritaskan daripada menarik kemashlahatan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘ala jalbi al mashâlih).”
Demikian ikhtiar awal saya menjdai respon atas problematika yng terlaksana di seputar dunia maya, sebagaimana pun terlaksana di dunia nyata.Tapi butuh kita ingat, meskipun di dunia maya, akan tetapi efek-nya mampu nyata mewujud dalam dunia nyata. Mohon koreksinya andai ada yng tidak lebih pas. Semoga memberikan manfaat. Wallâhu A’lam bi al-Shawwâb.
Sapen Yogya, 24/12/16
al-Faqiir Ahmad Syafi'i SJ Ahmad Mujib Jumat, 30 Desember 2016 Keislaman

Source Article and Picture : http://wikipendidikan.blogspot.com/2016/12/facebook-dalam-tinjauan-hukum-islam.html

Seputar Facebook dalam Tinjauan Hukum Islam

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Facebook dalam Tinjauan Hukum Islam