Titik Temu Antara Nilai-nilai Syariat dan Adat

- 06.24

Titik Temu Antara Nilai-nilai Syariat dan Adat

 
Titik Temu Antara Nilai-nilai Syariat dan Adat - Pergumulan antara syariat islam dan norma masih berlangsung sampai-sampai saat ini, khususnya dalam konteks islam di pulau Jawa. Banyak masyarakat jawa yng meskipun telah berada dalam lingkup dunia modern, masih memegang kuat hukum-hukum norma yng diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang orang-orang. Islamnya orang-orang Jawa masih Amat kental yang dengannya nuansa norma. Bahkan hukum-hukum norma yng terkadang bertentangan yang dengannya syariat cenderung lebih mendominasi kepercayaan masyarakat dibandingkan yang dengannya syariat. Maka di sinilah butuh upaya mencari titik temu antara nilai-nilai syariat dan norma menjdai bentuk antisipasi dan dekonstruksi keyakinan agar menjdai orang islam tak terjerumus kepada kesyirikan.
Misi utama Nabi Muhammad saw. merupakan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyempurnakan budaya umatnya. Beliau berusaha menebarkan rahmat (beri sayang) yng menjadi satu-satunya misi risalah. Allah SWT berfirman:
وَماَ اَرْسَلْنكَ إلا رَحْمَةُ للْعالمين
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyâ’: 107).
Sejarah sudah memperlihatkan, bahwasanya Islam cuma mampu dikembangkan yang dengannya nilai-nilai santun dan penuh etika. Ia akan mengakar kuat di tengah-tengah komunitas masyarakat bila mampu bersinergi yang dengannya budaya setempat tanpa memicu gejolak. Hal mana pun dibuktikan oleh kearifan dan kecerdikan Wali Songo yng dalam dakwahnya mampu memposisikan budaya (‘âdah) menjdai jembatan ataupun sarana dakwah, menjadikan mampu membumikan ajaran-ajarannya di hamparan bumi Nusantara hingga kini. Jauh-jauh hari Nabi saw sudah bersabda:
إنما بُعثْتُ لأُتَممَ مَكاَرمَ الأَخْلاَق
“Niscaya aku hanyalah diutus guna menyempurnakan moralitas yang mulia” (HR. Baihaqi).
Dalam hadis yang telah di sebutkan Nabi Muhammad saw menegaskan bahwasanya beliau diperintahkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyempurnakan akhlâqul karîmah yng pun berguna budaya, tradisi dan norma masyarakat, bukan sebaliknya, bahkan melenyapkannya. Hal ini sebagaimana disabdakan beliau:
إتق اللهَ حَيْثُما كُنْتَ وَأَتْبع السيئة الْحَسَنَةَ تَمْحُها وَخَالق الناسَ بخُلُق حَسَن
"Bertakwalah kepada Allah di mana saja anda berada, ikutilah kejelekan yang dengannya kebajikan yng mampu meleburnya dan berprilakulah kepada orang lain yang dengannya perilaku yng baik”. (HR. Turmudzi dan Hakim)
Adapun maksud dari perilaku yng baik yang telah di sebutkan merupakan “penyesuaian dengan budaya masyarakat.” Hal ini sebagaimana ditegaskan Sayyidina Ali bin Abi Thalib era ditanya ihwal maksud prilaku baik dalam hadis yang telah di sebutkan, beliau mengatakan:
هُوَ مُوَافَقَةُ الناس فى كُل شَيْء مَا عَدَا الْمَعَا صيْ
“(Maksud perilaku baik tersebut adalah) beradaptasi dengan masyarakat dalam setiap hal selama bukan maksiat”.[1]
Dari statemen Ali ini dia lantas belakangan ternama menjadi peribahasa:
لَوْ لاَ الْوئَامُ لَهَلَكَ الْأَنَامُ
“Andaikan tidak ada adaptasi (dalam pergaulan) niscaya manusia akan sirna”.
Berdasarkan penjelasan di atas, menjadi terang kiranya, bahwasanya ajaran Islam mesti disampaikan yang dengannya santun dan menghargai budaya. Nilai-nilai toleransi, adaptasi, akomodasi dan pembaruan pada budaya yang dengannya sendirinya akan membuat masyarakat lebih mencintainya. Kendati begitu, tak setiap budaya mampu ditoleransi. Sebab, seringkali budaya yng berkembang di tengah-tengah masyarakat bertentangan yang dengannya fithrah kita-kita sendiri dan disinyalir berseberangan yang dengannya nilai-nilai agama, semisal “pitungan jodo”, sesajen, dan mitos-mitos semisalnya. Oleh karenanya, dibutuhkan filter yng terang agar budaya dan agama bisa beriringan menuntun masyarakat ke arah akidah yng benar. Filter dimaksud merupakan Filter Akidah dan Filter Amaliyah. Filter akidah menjadi factor utama lantaran adalah dasar keimanan para pelaku budaya dan filter amaliyah adalah penerang apakah suatu budaya mampu menemukan legalitasnya ataupun tak.

Sebelum menjadikan suatu budaya menjdai jembatan dakwah, butuh dikenal lebih dahulu keyakinan para pelaku-nya atas hukum kausalitas (alasannya akibat), yng diklasifikasi-kan menjadi 4 (empat) jenis :
1. Pelaku yng meyakini sebuah alasannya mampu menghasilkan akibat tanpa ‘campur tangan’ Allah SWT. Seperti seseorang yng meyakini bahwasanya api yang dengannya sendirinya tanpa ‘campur tangan’ Allah SWT mampu membakar dan makanan yang dengannya sendirinya tanpa ‘campur tangan’ Allah SWT mampu mengeyangkan, maka ia secara ijma’, sudah dinilai keluar dari agama Islam.
2. Pelaku yng meyakini sebuah alasannya mampu menghasilkan akibat yang dengannya kekuatan (sesuatu yang di sembunyikan) yng Allah ciptakan pada alasannya yang telah di sebutkan. Seperti seseorang yng meyakini bahwasanya api mampu membakar yang dengannya kekuatan yng Allah ciptakan padanya. Maka status agamanya masih diperselesaikan. Merujuk pendapat Ashah (pendapat yng lebih valid) ia tak di hukumi kafir , akan tetapi salah satunya orang fasiq dan ahli bid’ah.
3. Pelaku yng menyakini bahwasanya kekerabatan (hubungan) antara alasannya dan akibat bersifat mutlak, tak terbantahkan dan pasti tak meleset (talâzum ‘aqli) akan tetapi menyakini juga bahwasanya semuanya terlaksana atas takdir Allah SWT. Seperti seseorang yng menyakini bahwasanya kebakaran ataupun rasa kenyang bergantung yang dengannya api dan makanan, bila api dinyalakan dan didekatkan pada kertas misalnya, maka api pasti akan membakarnya dan bila seseorang makan ia akan kenyang, akan tetapi ia masih meyakini bahwasanya semuanya tak keluar dari takdir Allah SWT. Orang yng berkenyakinan semacam ini dikategorikan menjdai orang yng bodoh dalam akidahnya.
4. Pelaku yng menyakini bahwasanya kekerabatan alasannya akibat tak bersifat mutlak, mampu terbantahkan dan mampu meleset (talâzum ‘âdi). Semua kebaikan dan keburukan cuma bergantung pada takdir Allah. semisal seseorang yng menyakini bahwasanya memanglah pada biasanya api mampu mem-bakar dan makanan mampu mengenyangkan, akan tetapi tetap menyakini , bahwasanya pada hakikatnya keduanya hanyalah sebuah alasannya yng mampu saja meleset dari kebisaaannya, yng menentukan kebakaran dan rasa kenyang hanyalah Allah SWT, maka dia dinilai menjdai seorang mukmin yng lurus akidahnya[2]
Pentingnya pemahaman ihwal hukum kausalitas di atas merupakan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyikapi kenyakinan masyarakat atas budaya orang-orang yng cukup bervariasi. Semisal pitungan jodo (perhitungan perjodohan dalam norma jawa) yng oleh sebagian orang masih diyakini menjdai penentu keharmonisan dan kesialan sebuah keluarga,
Selain itu, tak kalah pentingnya juga pengetahuan kekhawatiran atas kesialan ataupun petaka yng Suka diasumsikan menjdai akibat pelanggaran suatu budaya tertentu. Dalam hal ini dikenal konsep tathayyur dan thiyarah. Tathayyur sendiri didefinisikan menjdai prasangka tidak baik dan thiyarah merupakan aksi (perbuatan) yng muncul darinya. Sementara media ataupun perkara yng menimbulkan kekhawatiran dan prasangka tidak baik terbagi menjadi 4 (empat) jenis;
1. Perkara yng bisaanya (secara ‘âdatullâh) pasti (iththirad) membahayakan. Seperti bahaya racun bagi kebugaran atau kesehatan, senjata tajam mampu mengancam jiwa dan semisalnya. Maka kekhawatiran dari hal-hal semacam ini dibenarkan (tak haram) mengingat bisaanya akibat dari hal-hal yang telah di sebutkan pasti menjadi fakta (muhaqqaq) semisal khawatir lapar bila tak makan, haus bila tak minum dan semisalnya.
2. Perkara yng secara’âdatullâh Suka kali (aktsariyah) membahayakan. Seperti keengganan berobat bagi orang yng sedang sakit akan memperlama ataupun memperparah sakitnya. Maka kekhawatiran semacam ini pun dibenar-kan.
3. Perkara yng secara âdatullâh masih simpang siur antara bahaya dan tidaknya. Keduanya mempunyai mungkin yng percis. Seperti khawatir ditulari penyakit. Maka kekhawatiran semacam ini hendaknya ditinggalkan, agar tak menggiring pada thiyarah yng diharamkan.
4. Perkara yng secarea ‘âdatullâh (bisaanya) percis sekali tak membahayakan. Seperti trasdisi menyembelih kambing dan mengitarinya lantaran khawatir tak akan terpenuhi suatu hajat tertentu dan mitos-mitos semisalnya. Maka kekhawatiran pada hal yang telah di sebutkan tak diperbolehkan (haram), mengingat kekhawatiran semacam ini tak didasari pada suatu alasannya. Nabi Muhammad SAW bersabda :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ يُعْجِبُهُ الْفَأْلُ الْحَسَنُ وَيَكْرَهُ الطِّيَرَةَ
“Nabi SAW suka mengikuti tanda-tanda keberuntungan dan benci mengikuti tanda-tanda kesialan.” (HR. Ibn Majjah)
Kebencian Nabi SAW pada Thiyarah dalam Hadits yang telah di sebutkan mesti difahami pada kekhawatiran ihwal mitos-mitos semacam ini lantaran salah satunya su’uzhan ataupun berprasangka tidak baik kepada Allah. Bila seseorang hingga meyakininya, mungkin besar dia tak selamat dari bahaya yng dikhawatirkan menjdai balasan atas prasangka buruknya. Sementara bila tak meyakininya, maka ia akan selamat. Dalam sepenggal Hadits Qudsi disebutkan;
أَنا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بيْ فَلْيَظُنُّ بيْ ما شَاءَ
“Aku (Allah) selaras dengan prasangka Hambaku, maka berprasangkalah padaku dengan apa yang ia mau.” (HR.Hakim, Ibn Hibban dan Ahmad)[3]
Untuk menilai suatu budaya mampu dijadikan jembatan dakwah, maka dalam prakteknya konseptathayyur yang telah di sebutkan diterapkan sebelum pendekatan yang dengannya konsep hukum kausalitas. Semisal dalam pitungan jodo, sebelum mengenal keyakinan para pelaku, semestinya dikaji dulu apakah pitungan jodo yang telah di sebutkan layak dinilai menjdai sebuah alasannya keharmonisan dan kesialan sebuah keluarga ataupun tak? minimal salah satunya dalam kategori ke tiga, yakni perkara yng secara âdatullâh (bisaanya) masih simpang siur antara bahaya dan tidaknya. Andaikan layak dinilai menjdai sebuah alasannya maka para pelakunya tinggal diarahkan pada akidah yng benar, minimal yang dengannya membuat yakin bahwasanya seluruh peristiwa cuma terlaksana atas takdir Allah SWT. Sementara bila suatu perkara tak layak dinilai menjdai sebuah alasannya, tentu percis sekali perkara yang telah di sebutkan tak butuh dikhawatirkan.
Di ruang lain terdapat juga konsep fa’l yng lebih umum dari pada thiyarah. Fa’l diartikan menjdai tanda yng menghantarkan kepada prasangka baik ataupun prasangka tidak baik dan tafa’ul mampu diartikan menjdai upaya mendapatkan tanda yng mampu menghantarkan kepada prasangka baik ataupun prasangka tidak baik. Fa’l sendiri terbagi menjadi 3 (tiga) jenis :
1. Fa’l (tanda) yng pasti menunjukan keberuntungan. Seperti memberikan nama baik, menjadikan disaat nama itu dipanggil akan membuat nyaman pendengarnya, mende-ngar kata-kata yng memupuk optimisme dan mengutus diplomat yng cantik agar sukses. Fa’l semacam ini diperbolehkan, alasannya mampu menjadi media khsnuzhan kepada Allah SWT, yng menjadi kewajiban hamba-Nya setiap era.
2. Fa’l yng pasti menunjukan kesialan. Seperti menghindari pemberian nama tidak bagus, mendengar kata-kata yng mem-buat pesimis dan tak mengirim diplomat yng berwajah tidak bagus. Walaupun berpotensi menjadikan su’uzhan kepada Allah SWT akan tetapi fa’l ini tetap diperbolehkan, mengingat sebab-sebabnya masih dalam kerangka âdatullâh (bisaanya) yng Perlu dipercaya.
3. Fa’l yng mungkin menunjukan keberuntungan ataupun kesialan. Semisal mencari isyarat kebaikan (tafa’ul) yang dengannya mushaf Al-Qur’an. Fa’l semisal ini tak diperbolehkan lantaran berpotensi memicu su’uzhan kepada Allah yang dengannya sebab-sebab diluar ‘âdatullâh.[4]
Fungsi utama dari konsep fa’l ini merupakan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyikapi dampak sebuah budaya pada prasangka baik dan tidak baik (khusnuzhan dan su’uzhan) para pelakunya. Bila sebuah budaya mampu mendorong optimisme (khusnuzhan) atas takdir Allah SWT bagi orang-orang, maka budaya yang telah di sebutkan mampu dinilai menjdai perantara khusnuzhan yng tentunya diperbo-lehkan. Sedangkan bila suatu budaya membuat pesimis (su’u-dhan) para pelakunya, maka budaya yang telah di sebutkan boleh di lakukan dan dilestarikan selama sebab-sebabnya masih dalam kerangka ‘âdatullâh (bisaanya). Sementara bila suatu budaya bisa mem-buat optimis dan peseimis sekaligus, maka budaya tersebut tidak boleh dilestarikan, sebab berpotensi menimbulkan su’uzhan kepada Allah SWT yang dengannya sebab-sebab di luar ‘âdatullâh. Yang terang, segala musibah cuma mampu terlaksana atas izin Allah SWT, sebagaiman difirmankan :
مَا أَصَابَ مِنْ مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ وَمَنْ يُؤْمِنُ بِااللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ, وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ......
“Tidak ada Suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan member petunjuk kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun : 11)
Syariat adalah filter amaliyah. Maksud dari filter ‘amaliyah merupakan seleksi ataupun penilaian pada suatu budaya, apakah budaya yang telah di sebutkan mampu ditolerir oleh syariat ataupun tak. Bila suatu budaya mau tak mau (lâzim) pasti memiliki kandungan larangan agama semisal penyia-nyiaan harta, maka budaya yang telah di sebutkan tak layak dilestarikan. Sementara bila larangan agama yang telah di sebutkan masih mampu dihindari (ghair al-lâzim), maka sebisa mungkin larangan agama itu dihindari, menjadikan budaya yang telah di sebutkan mampu menjadi jembatan dalam menyebarkan syiar Islam.
Kendati begitu, pada realitanya pengakomodiran suatu budaya tak semudah membalik telapak tangan. Butuh kesabaran dan keuletan. Namun setidaknya tidak banyak demi tidak banyak budaya yng sudah mengakar kuat di tengah masyarakat diupayakan agar tak berseberangan yang dengannya agama. Selaras yang dengannya anjuran Imam Ghazali dalam Ihya’ nya ;
وَمنْ لَطَا ئِفِ الرِّياَضَةِ إِذَ كَانَ الْمُرِيْدُ لاَ يَخْسُوْ بِتَرْكِ الرُّعُوْنة رَأْسًا أَوْ بِتَرْكِ صِفَةٍ أُخْرَى وَلَمْ يُسَمَّحْ بِضِدِّها دَفْعَةً فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَنْقُلَهُ مِنَ الخُلُقِ الْمَذْمُوْمِ إِلَى خُلُقٍ مَذْمِوْمٍ اَخَرَ أخَفَّ مِنْهُ كَا الَّذِي يَغْسِلُ الدَّمَ بِالْبَوْلِ ثُمَّ يَغْسِلُ الْبَوْلُ بِالمَاءٍ إِذَا كَانَ الْمَاءُ لايُزِيْلُ الدَّمَ كَمَا يُرْغَبُ الصَّبِيُّ فِي الْمَكْتَبِ بِاللَّعبِ بالْكُرَّةِ وَالصَّوْ لَجان وَمَا أَشْبَهَهُ ثُمَّ يُنْقَلُ مِنَ اللعْبِ إِلى الزّينَةِ وَفَاخِرِ الثِّيَابِ ثًمَّ يُنْقَلُ مِنْ ذَلِكَ بالتَرغِيْبِ فِي الرِّيَاسَةِ وَطَلَبِ الْجَاهِ ثُمَّ يُنْقَلُ مِنَ الجَاهِ بِالتَّرْغِيْبِ فِي اْلاَخِرَةِ........
”Termasuk dari riadhah yng ampuh merupakan bila seorang murid tak mau meninggalkan kerendahan percis sekali ataupun meninggalkan sifat tidak baik yng lain dan tak mau menggantinya yang dengannya sifat (baik) yng berlawanan, maka sebaiknya seorang guru memindahnya dari akhlak tercela kepada akhlak tercela lain yng lebih ringan, separti seseorang yng membasuh darah yang dengannya air seni lantas membasuh air seni yang telah di sebutkan yang dengannya air disaat air tak mampu (secara langsung) menghilangkan darah. Seperti seorang bocah yng dibujuk masuk sekolah yang dengannya bermain bola dan tongkat pemukulnya dan permainan yng semisalnya, lalu memindahnya dari (menggemari) permainan kepada (menggemari) perhiasan dan pakaian mewah, lalu darinya dialihkan agar menggemari kepemimpinan dan jabatan, dan dari jabatan dialihkan agar menggemari akhirat.”
Catatan kaki
Ditulis oleh Ahmad Syafi'i SJ, Rois Syuryah MWC NU Kec. Pulung, Dekan Fakultas Syariah INSURI Ponorogo dan Sekjen Ikatan Sarjana NU (ISNU) Kab. Ponorogo. Makalah ini disampaikan dalam acara Sarasehan yng bertempat di desa Serag, dusun krajan, kecamatan Pulung, kabupaten Ponorogo. Acara ini terselenggara atas kerja percis MWC NU Pulung dan mahasiswa KPM Stain Ponorogo tahun 2015
[1] Lihat Muhammad Nawawi, Mirqâh Shu’ûd at-Tashdîq (Surabaya: al-Hidayah, tt), 61.
[2] Ibrâhim bin Muhammad al-Bâjûri, Tuhfah al-Murîd (Surabaya: al-Hidayah, tt), 61.
[3] Muhammad ‘Ali Ibn Husein al-Makki al-Mâliki, Tahdzîb al-Furûq wa al-Qawâid as-Saniyyah fî al-Asrâr al-Fiqhiyyah (Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt), Juz IV, hal. 259-260.
[4] Muhammad ‘Ali Ibn Husein al-Makki al-Mâliki, Tahdzîb al-Furûq wa al-Qawâid as-Saniyyah….., 261-263. Ahmad Mujib Jumat, 18 November 2016 Keislaman

Source Article and Picture : http://wikipendidikan.blogspot.com/2016/11/titik-temu-antara-nilai-nilai-syariat-islam-dan-adat.html

Seputar Titik Temu Antara Nilai-nilai Syariat dan Adat

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Titik Temu Antara Nilai-nilai Syariat dan Adat