Santri dan Kekuatan Finansial di Era Global, Sebuah Refleksi Hari Santri Nasional 2016

- 20.57

Santri dan Kekuatan Finansial di Era Global, Sebuah Refleksi Hari Santri Nasional 2016

 
Bila didefinisikan, santri merupakan sebutan bagi peserta didik ataupun murid yng belajar di pondok pesantren. Keistimewaan santri tak terlepas dari keistimewaan pesantren itu sendiri. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara, pesantren merupakan lembaga pendidikan yng mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan yng titik tekannya terdapat atau terletak pada internalisasi nilai-nilai keislaman dan local wisdom. Sedangkan pendapat dari definisi Hadratussyekh KH. Hasani Nawawie, Santri, didasari peninjauan prilakunya, merupakan orang-orang yng berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan mengikuti sunnah Rasul saw, dan teguh pendirian. Ini merupakan arti berdasar pada sejarah dan fakta, yng tak bisa diganti dan diubah selama-lamanya. Allah Maha Mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya.
Belakangan ini, santri menjadi sosok yng menjadi harapan bagi terciptanya iklim indonesia yng bermartabat dan berbudi luhur. Di tengah merosotnya moral generasi muda dan para pemimpin, pesantren menjadi lembaga pilihan yng dinilai paling tepat bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyelamatkan anak-anak sedini mungkin dari pengaruh yang telah di sebutkan. Akan akan tetapi di sisi lain, masih ada kekhawatiran sebagian pihak bahwasanya output pesantren tak mempunyai bekal lifeskill bagi atau bisa juga dikatakan untuk menunjang ke hidup-an finansialnya di masa depan.

Terkait kekhawatiran di atas, bapak Ahmad Syafi'i, dosen tetap STAIN Ponorogo era memberikan Ceramah Motivasi PP. Darul Huda Mayak perihal Filsafat Ilmu Agama (ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu agama) menjelaskan, bahwasanya ada tiga komponen yng Perlu dikombinasikan oleh santri paripurna, yakni: finansial, intelektual, dan spiritual. Seorang yng intelek tak Perlu lemah secara finansial dan spiritual. Seorang yng ahli ibadah Perlu kuat secara finansial dan intelektual. Dan seorang yng kaya Perlu intelek dan ahli ibadah.
Terkait aspek intelektual, beliau memberikan bahwasanya alatnya ilmu, sebagaimana dikatakan dalam kitab Al-Fawa'idul Makiyyah, itu ada empat: Pertama, Syaikh/Kyai/Guru yng mampu membuka hatinya santri. Kedua, Piranti akal yng cerdas. Ketiga, kitab yng shahih/valid, dan keempat merupakan berkesinambungan.
Dalam tradisi pesantren, kyai merupakan sosok pengajar dan pendidik yng sentral dan memegang otoritas kebenaran. Akal yng cerdas adalah piranti bagi santri bagi atau bisa juga dikatakan untuk menginput pengetahuan-pengetahuan yng diberikan oleh kyai yng bersumber dari kitab-kitab yng dikaji secara berkesinambungan.
Tujuan puncak dari pendidikan yaitu membentuk kita-kita seutuhnya, tak terlaksana split personalitiy dalam kepribadiannya. Hal ini bisa terwujud andaikan sudah terlaksana keseimbangan antara kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, ditambah kuat secara finansial. Bagaimanapun pun, urusan finansial memanglah tak mampu lepas dari ke hidup-an kita, apalagi di jaman semisal saat ini ini. Santri yng kuat secara finansial setidaknya akan memperlihatkan bahwasanya umat islam bukanlah umat miskin dan terbelakang yng pandai mempergunakan dalil tawakkal bagi atau bisa juga dikatakan untuk menutupi kemalasannya dalam bekerja.
Tantangan santri di era global ini memanglah makin berat. Santri tak cuma diuntut bagi atau bisa juga dikatakan untuk mampu membaca kitab kuning dan menghafalkan nadhom-nadhom semisal imrithi, alfiyah, dan lain-lainnya. Santri pun Perlu siap bagi atau bisa juga dikatakan untuk berkontribusi bagi ke hidup-an masyarakat disaat sudah paripurna dari dunia pesantren. Oleh karenanya, tiga komponen sebagaimana yng disebutkan oleh bapak Ahmad Syafi’i di atas Perlu berusaha dikombinasikan dalam hidup seorang santri era ia telah terjun di masyarakat.
Di lapangan tidak sedikit didapati kasus, bahwasanya himpitan finansial bisa menimbulkan ambisi seseorang bagi atau bisa juga dikatakan untuk menembus batas-batas syariat guna memperoleh keuntungan pribadi. Ketika kecerdasan intelektual dijadikan alat bagi atau bisa juga dikatakan untuk bermain curang demi mencari keuntungan finansial, dan nilai spiritual pun tidak lagi mampu menjadi rem yng mengontrol perbuatan-perbuatan yng dilarang oleh agama, maka tak ada alasan lain bagi atau bisa juga dikatakan untuk tak memperhatikan masalah finansial seseorang, meski ia seorang santri yng dalam dirinya sarat yang dengannya nilai-nilai religius keagamaan.
Pada kenyataannya, memanglah tak seluruh orang mempunyai maqom yng percis menjdai hamba Allah. Seperti yng dinyatakan dalam kitab Al-Hikamnya Ibnu Atha’illah, ada orang yng maqomnya tajrid, ada yng maqomnya asbab. Orang yng maqomnya tajrid yakni orang yng dalam masalah finansialnya menjadi urusan Allah. Tugasnya cuma rajin beribadah dan berdzikir kepadanya. Soal finansial, Allah yng mengatur tanpa ia Perlu berpayah-payah dalam bekerja. Berbeda yang dengannya orang yng maqomnya asbab, dia memanglah oleh Allah disetting bagi atau bisa juga dikatakan untuk bekerja melayani sesama kita-kita bagi atau bisa juga dikatakan untuk mencukupi kebutuhan finansialnya. Dari sini, tak seluruh santri maqomnya tajrid, pun tak juga semuanya asbab.
Bahkan Al-Quran pun mendorong umat islam bagi atau bisa juga dikatakan untuk bekerja semaksimal mungkin yang dengannya segala potensi yng dimilikinya dalam mencari rizki. Islam percis sekali tak menghendaki umatnya bagi atau bisa juga dikatakan untuk menjadi pemalas yng berpandangan bahwasanya bekerja adalah sesuatu yng tidak baik dan memberatkan diri. Padahal, letak bahagia dan nikmat Allah di antaranya ada dalam bekerja. Apalagi bila hal itu dalam rangka memberikan nafkah bagi keluarga.
Selain Perlu cerdas secara intelektual dan matang dalam spiritual, seorang santri pun Perlu menyadari akan pentingnya bekerja dan mencintai apa yng dikerjakan menjdai sebuah kewajiban dalam hidupnya. Umat islam dianjurkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk bekerja, dan islam membenci kebodohan, kemalasan, dan pengangguran. Di dalam bekerja, kita belajar dan berlatih bagi atau bisa juga dikatakan untuk memanifestasikan nilai-nilai yng pernah diajarkan para kyai di pesantren semisal kejujuran, ketekunan, istiqomah, kerajinan, keterampilan, dan lain sebagainya. Dengan bekerja, seseorang akan mempunyai nilai diri yng tinggi, tak cuma secara individu, akan tetapi pun masyarakat, dan malah berkontribusi menguatkan umat islam secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Nabi saw. melalui beberapa hadis beliau menerangkan perihal keutamaan bekerja. Seperti misalnya beliau menerangkan bahwasanya tiada makanan yng dimakan seseorang yng lebih baik daripada yng diperoleh melalui usahanya sendiri. Barangsiapa yng mencukupi kebutuhannya sendiri, maka Allah akan mencukupinya. Bahkan, pekerjaan mencari kayu bakar yng dalam pandang-an orang saat ini merupakan pekerjaan yng rendah, lebih baik dari meminta-minta.
Tulisan ini saya persembahkan menjdai sebuah refleksi dan motivasi dalam menyambut Hari Santri 22 Oktober 2016 yng tinggal beberapa hari lagi. Semoga yang dengannya doa dan keberkahan para wali, ulama, dan kyai yng terus mengalir, tewujudlah santri-santri unggulan yng bisa memperbaiki aneka macam problem multidimensi yng melanda negeri ini. Al fatihah... Ahmad Mujib Rabu, 19 Oktober 2016 Pendidikan

Source Article and Picture : http://wikipendidikan.blogspot.com/2016/10/santri-dan-kekuatan-finansial-di-era-global-refleksi-hari-santri-nasional-2016.html

Seputar Santri dan Kekuatan Finansial di Era Global, Sebuah Refleksi Hari Santri Nasional 2016

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Santri dan Kekuatan Finansial di Era Global, Sebuah Refleksi Hari Santri Nasional 2016