Aliran-aliran Filsafat Pendidikan

- 18.31

Aliran-aliran Filsafat Pendidikan

 
Dalam dunia pendidikan, kita mengenal beberapa peredaran filsafat. Aliran-aliran filsafat pendidikan ini menentukan corak dari pendidikan itu sendiri, baik dari segi tujuan yng hendak dicapai, proses belajar mengajar, serta pun konsep dasarnya. Apa pentingnya mengetahui aliran-aliran filsafat pendidikan? Tentu saja yang dengannya memahami aliran-aliran filsafat pendidikan maka kita akan gampang dalam membaca serta menganalisis jenis filsafat apa yng menjadi rancang bangun system pendidikan dari suatu lembaga pendidikan. Bahkan salah satunya pun menganalisis aneka macam kebijakan dalam pendidikan, baik itu menyangkut masalah kurikulum, tujuan pendidikan, dan juga lain-lainya. Berikut ini beberapa alitan filsafat dalam pendidikan.
1. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Salah satu filsafat pendidikan yng kita kenal yakni filsafat pendidikan eksistensialisme. Filsafat pendidikan eksistensialis berpandangan bahwasanya fakta ataupun kebenaran merupakan keberadaan ataupun adanya individu kita-kita itu sendiri. Seseorang akan menjadi tahu perihal sesuatu melalui pengalaman. Hal ini bergantung pada tingkat kesadaran masing-masing orang bagi atau bisa juga dikatakan untuk mencari pengalaman. Kebenaran pendapat dari orang-orang merupakan relatif, bergantung kepada keputusan orang-orang masing-masing. Begitu juga nilai-nilai ditentukan oleh setiap individu.[1]
Orang tak butuh menyesuaikan diri yang dengannya nilai-nilai sosial, agar keberadaan dirinya tak hilang. Pendidikan pendapat dari filsafat ini bertujuan mengembangkan individu, memberikan peluang bagi atau bisa juga dikatakan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, serta mengembangkan komitmen diri. Materi pelajaran Perlu memberikan peluang aktif sendiri, merencana serta melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok. Materi yng dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung dalam ke hidup-an kita-kita. Peserta didik butuh memperoleh pengalaman sesuai yang dengannya perbedaan individu-individu orang-orang.[2]

Metode pembelajaran yng dipakai adalah yang dengannya cara mendorong siswa bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengikuti segala kegiatan yang dengannya tujuan mengembangkan potensi masing-masing bagi atau bisa juga dikatakan untuk menemukan jati diri.[3]
Dari aneka macam uraian di atas, kita bisa memberikan kesimpulan beberapa hal perihal pandang-an eksistensialisme dalam dunia pendidikan. Bagi peredaran ini, keberadaan individu merupakan segalanya. Oleh lantaran itu, pendidikan diarahkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menumbuh-kembangkan segenap potensi dalam diri individu semaksimal mungkin melalui aneka macam cara yng dianggap mampu memenuhi target yang telah di sebutkan.
2. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Aliran Filsafat pendidikan Rekonstruksionisme ini Suka diartikan menjdai rekonstruksi sosial yng adalah perkembangan dari gerakan filsafat pendidikan progresivisme. Umumnya rekontruksionisme menganggap bahwasanya progresivisme belum cukup jauh berusaha memperbaiki masyarakat.
Rekonstruksionisme timbul menjdai akibat dari pengamatan tokoh-tokoh dari pendidikan terhadap masyarakat Amerika khususnya serta masyarakat Barat biasanya.keadaan masyarakat tak sepadan yang dengannya harapan ideal semisal timbulnya kebebasan, kesamaan, serta persaudaraan. Untuk mengembalikan kepada kedaan semula hendaknya pendidikan bisa berperan menjdai instrumen rekntruksi masyarakat.
Dengan demikian, Rekontruksionisme menaruh perhatian terhadap pendidikan dalam kaitanya yang dengannya masyarakat. Artinya, bahwasanya tujuan pendidikan, kurikulum, metode, peran guru serta peran sekolah menjdai lembaga pendidiakan hendaknya searah yang dengannya kebutuhan masyarakat. Peserta didik dalam sekolah yng becorak peredaran Rekontruksionisme ini diarahkan agar bisa mampu mengikuti keadaan serta berinteraksi yang dengannya masyarakat dimana ia tinggal. Jadi orientasi pendidikannya merupakan masyarakat.
Imam Barnadib mengartikan Rekontruksionisme menjdai filsafat pendidikan yng menghendaki agar anak didik bisa dibangkitkan kemampuanya bagi atau bisa juga dikatakan untuk secara rekontruktif menyusuaikan diri yang dengannya tuntutan perubahan serta perkembangan masyarakat menjdai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan serta teknologi.
Arthur K. Ellis mengatakan bahwasanya Rekontruksionisme adalah perkembangan dari progresivisme dalam pendidikan, yng kadang kala diartikan menjdai rekontruksi sosial. Pengikut peredaran ini pada biasanya menganggap bahwasanya progresivisme belum berjalan cukup jauh dalam mengupanyakan perbaikan masyarakat, orang-orang pun beranggapan progresivisme cuma memperhatikan problematika masyarakat pada era sedang dihadapi, pdahal yng diharapkan di abab kemajuan teknologi yng bergerak yang dengannya cepat merupakan upaya merengkontruksi masyrakat serta pencitaan tatanan dunia yng baru secara menyeluruh.
John Dewey menerangkan bahwasanya Rekontruksionisme menjelaskan akhir (akibat ataupun hasil) serta proses. Artinya, pendidikan dalam Rekontruksionisme tak identik yang dengannya ketidakpastian arah ataupun tujuan serta tanpa melalu proses. Meskipun Rekontruksionisme menganggap bahwasanya pengalaman mengalami perkembangan serta perubahan, tak berguna pendidikan yng diselenggarakan kehilnagn arah serta tujuan. Pengalaman serta kegiatan yng secra continu berkembang serta berganti yang telah di sebutkan adalah bagian dari pendidikan.
Oleh lantaran itu, pendidikan yng diselenggarakan Perlu senantiasa berkembnag serta berganti, sejajar yang dengannya tuntutan yng dihadapi oleh pendidikan pada era itu. Konstruksi pengalaman itu mampu terlaksana baik pada individu maupun kolektif.konsekuensinya, pendidikan mesti memperhatikan kedua aspek yang telah di sebutkan.
Dikatakan pendidikan merupakan rekonstruksi ataupun reorganisasi pengalaman sedemikian sampai-sampai mampu menambah makna pengalaman yang telah di sebutkan, dan bisa menaikan kemampuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menentukan arah pada pengalaman selanjutnya Sehingga kaitannya yang dengannya pendidikan yakni rekontruksionisme menghendaki tujuan pendidikanuntuk menaikan kesadaran siswa mengenai pronlematika sosial, politik serta ekonomi yng dihadapi oleh kita-kita secara global, serta membina orang-orang. kurikulum serta metode pendidikan bermutan sosial, politik, serta ekonomi yng dihadapi oleh masyarakat.[4]
3. Filsafat Pendidikan Progressivisme
Aliran filsafat pendidikan Progresivisme lahir di Amerika Serikat. Tokoh peredaran ini merupakan John Dewey. Filsafat ini mempunyai jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, serta perbuatan nyata. Menurut peredaran ini, tak ada tujuan yng pasti, begitu juga tak ada kebenaran yng pasti. Tujuan serta kebenaran itu bersifat relatif. Apa yng saat ini dipandang benar, tahun depan belum tentu masih dianggap benar. Ukuran kebenaran merupakan yng bermanfaat bagi ke hidup-an kita-kita hari ini. Sebagai konsekuensi dari pandang-an ini, maka yng diprioritaskan dalam pendidikan merupakan mengembangkan bagaimana peserta didik bagi atau bisa juga dikatakan untuk mampu berpikir yang dengannya baik. Upaya yng di lakukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mencapai hal ini ditempuh melalui metode belajar pemecahan masalah yng di lakukan oleh anak-anak itu sendiri. Karena itu pendidikan menjadi terpusat pada anak.[5]
Progresivisme yng lahir sekitar abad ke-20 adalah filsafat yng bermuara pada peredaran filsafat pragmatisme yng diperkenalkan oleh William James (1842-1910) serta John Dewey (1859- 1952), yng menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Filsafat progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme yng sudah memberikan konsep dasar yang dengannya azas yng utama bahwasanya kita-kita dalam hidupnya bagi atau bisa juga dikatakan untuk tetap survive terhadap seluruh tantangan, Perlu pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.
Aliran filsafat pendidikan Progresivisme ini dalam proses pembelajarannya bersifat student centered ataupun peserta didik lebih lebih banyak didominasi. Aliran ini meyakini bahwasanya peserta didik adalah manusia-manusia yng sejak lahir mempunyai potensi bawaan. Guru hanyalah sebatas fasilitator yng bertugas mengaktualisasikan segenap potensi orang-orang agar orang-orang mampu secara kreatif serta mampu berdiri diatas kaki sendiri menyelesaikan aneka macam masalah yng ada. Tidak boleh ada otorisasi dari guru, baik dalam hal fisik maupun psikis.
Aliran ini adalah penggagas kemerdekaan serta kebebasan berpikir peserta didik guna mengoptimalkan daya kemampuan serta kreatifitas orang-orang tanpa terhambat oleh lingkungan pendidikan itu sendiri. "Kemajuan dan semangat perubahan" adalah kata kunci dari pandang-an filsafat progresivisme. Peserta didik dipersiapkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mampu menghadapi tantangan zaman yng terus berkembang serta menyelesaikan aneka macam duduk perkara yng makin kompleks.
4. Filsafat Pendidikan Perennialisme
Aliran filsafat perennialisme adalah peredaran yng berpegang pada nilai-nilai ataupun norma-norma yng bersifat kekal kekal. Aliran ini memandang bahwasanya zaman modern menghasilkan krisis di aneka macam bidang ke hidup-an kita-kita. Oleh lantaran itu, peredaran ini memberikan konsep jalan keluar “regressive road to cultural”, yaitu kembali kepada kebudayaan masa lampau. Perennialisme masih memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan kita-kita saat ini kepada kebudayaan ataupun tradisi masa lampau yng dianggap sudah cukup ideal.
Aliran Perennialisme ini mengidealkan kondisi masa lampau menjdai kondisi ideal serta masih tetap relevan bagi atau bisa juga dikatakan untuk dijadikan menjdai tujuan dari pendidikan era ini. Mereka menolak Modernitas lantaran dianggap menjdai biang keladi tercerabutnya nilai-nilai ideal masa lampau dari kebudayaan masyarakat.
Robert M. Hutchins, seorang tokoh perennialisme mengatakan bahwasanya tugas pendidikan merupakan mengajar, di mana di dalam proses mengajar itu terkandung pengetahuan, pengetahuan itu dianggap menjdai kebenaran, serta kebenaran itu di manapun merupakan percis.[6] Dari pendapat ini bisa kita ketahui bahwasanya dalam proses mengajar, guru adalah tokoh sentral yng diasumsikan menjdai pemilik kebenaran. Peran guru dalam pembelajaran Amat lebih banyak didominasi.
Dasar filosofis yng peredaran perennialisme merupakan Scolatisisme ataupun Neo-Thomisme yng memandang fakta menjdai sebuah dunia akal pikiran serta Tuhan, pengetahuan yng benar diperoleh melalui berpikir, keimanan, serta kebaikan yng didasari perbuatan rasional.[7] Dengan kata lain, alam raya ini adalah tajalli ataupun penampakan dari Tuhan sekalian manifestasi dari buah akal pikiran kita-kita.
Model pendidikan yng boleh dikatakan mirip yang dengannya paradigma peredaran Perennialisme ini merupakan model pendidikan yng diterapkan di pesantren-pesantren salaf murni. Mulai dari metode mengajar, sumber belajar, malah hubungan sosial guru serta murid, semuanya mengambil konsep tradisi keintelektualan serta nilai-nilai kebudayaan islam di masa lampau. Penggunaan alat-alat komunikasi serta berita menjdai bagian dari produk teknologi modern Amat terbatas, malah dilarang percis sekali.
Catatan kaki
[1] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, 93.
[2] Ibid., 34.
[3] Basuki, Pengantar Filsafat Pendidikan, 47.
[4] Abd. Rachaman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma baru pendidikan hadhari berbasis integrative-interkonektif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), 206-207.
[5] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, 92.
[6] Basuki As’adi, Pengantar Filsafat Pendidikan (Ponorogo: STAIN PO. Press, 2010), 17.
[7] Ibid., 18. Ahmad Mujib Rabu, 24 Februari 2016 Pendidikan

Source Article and Picture : http://wikipendidikan.blogspot.com/2016/02/aliran-aliran-filsafat-pendidikan.html

Seputar Aliran-aliran Filsafat Pendidikan

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Aliran-aliran Filsafat Pendidikan