Ketika Guru adalah Profesi, Salahkah?

- 22.21

Ketika Guru adalah Profesi, Salahkah?

 
Suatu sore, saya masuk kuliah jam ke 4 serta 5, sejak pukul 13.00 wib hingga 16 wib. Karena belum terbiasa masuk kuliah sore, rasanya males banget. Cuaca yng panas serta kantuk berat membuat suasana perkuliahan tak kondusif. Rasa haus serta lapar pun tidak mau ketinggalan datang memecah kenyamanan.
Setelah perkuliahan selesai, saya shalat ashar sebentar di masjid kampus. Setelah itu ngopi di warung kopi favorit milik sahabat yng lokasinya tidak jauh dari kampus. Selain lokasinya yng enak serta strategis, rasa kopinya pun tidak kalah nikmatnya.
Temanku yng punya kedai kopi itu dulunya sekelas percis saya waktu di Aliyah. Setelah kami lulus, dia istirahat satu tahun baru lantas masuk kuliah jurusan PGMI di kampus yng percis yang dengannya saya.
Sambil asyik nyruput secangkir kopi, kami ngobrol panjang lebar. Karena kami kuliah di jurusan yng percis, yakni pendidikan, saya iseng tanya-tanya pendapat dia soal profesi guru. Kenapa hingga saat ini dia belum berminat bagi atau bisa juga dikatakan untuk melamar kerja jadi guru ataupun paling tak nyambi ngajar, padahal dia telah lulus.
Lalu apa jawabannya? Dia mengatakan, "jadikanlah mengajar itu sebagai sebuah ibadah, bukan pekerjaan yang harus digaji." Dia belum ingin melamar menjadi seorang guru lantaran terasa belum mapan secara ekonomi. Ketika sisi ekonominya belum mapan, dia khawatir bahkan menggantungkan hidupnya kepada lembaga tempat dia mengajar. Padahal dia punya prinsip bahwasanya mengajar itu Perlu berlandaskan keikhlasan, bukan lantaran ingin bisa bayaran. Kalaupun digaji, itu bonus saja.
Saya mengamini pendapatnya. Kita lihat saja realita era ini bagaimana sulitnya mencari uang. Bukan tak percaya akan jaminan Tuhan atas jatah rezeki yng disediakan bagi atau bisa juga dikatakan untuk setiap hamba-Nya. Namun bagi atau bisa juga dikatakan untuk menghindari, minimal meminimalisir ketergantungan akan kebutuhan hidup sehari-hari dari aktifitas mengajar. Rasanya tak salah kalau lebih memprioritaskan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mencukupi kebutuhan finansial berlebi dahulu sebelum terjun di dunia pengajaran.
Semenjak guru dipandang menjdai bagian dari profesi, perspektif ihwal Guru mulai bergeser. Kewajiban mengajar yng di lakukan lebih berorientasi pada gaji. Memang hal itu tidaklah salah, namun alangkah lebih baik andai menjadi guru itu diniati semata-mata bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengamalkan ilmu yng dititipkan Tuhan menjdai bagian dari kewajiban seorang yng berilmu. Di samping itu, guru adalah sosok teladan bagi siswa serta masyarakat yng mempunyai kompetensi khusus dalam bidang pendidikan, yng telah seharusnya dipakai dalam mendidik serta mengajar para generasi penerus bangsa.
Anak didik adalah generasi yng akan meneruskan perjuangan para pendahulu bangsa ini di masa yng akan datang. Jadi telah seharusnya seorang guru mengajar serta mendidik orang-orang yang dengannya niat yng lurus serta mulia. Bukan cuma mementingkan upah materiil yng sifatnya cuma sementara saja.
Terkadang saya pun dilema melihat aksi para guru honorer beberapa waktu lalu yng menuntut pemerintah agar mengangkat orang-orang menjadi PNS. Menurut saya, hal itu sebetulnya tidak lebih pantas di lakukan oleh seorang guru. Namun di sisi lain, kesulitan dalam hal ekonomi serta rendahnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan yng non-PNS serta belum sertifikasi pun hal yng butuh dipertimbangkan.
Ditetapkannya guru menjdai sebuah profesi adalah lantaran memanglah ada banyak sekali kompetensi serta keterampilan khusus yng Perlu dikuasai. Singkatnya, menjadi seorang guru itu butuh keterampilan khusus yng didapatkan melalui teori-teori serta konsep-konsep yng didapatkan di bangku perkuliahan ataupun yng lain-lainnya.
Aktifitas guru tak lepas dari yng namanya mengajar. Sedangkan mengajar itu ada seni, metode, teknik, serta strateginya tersendiri. Itulah kenapa era ini istilah ‘guru’ boleh dikatakan sudah mengalami penyempitan makna semenjak guru dijadikan menjdai sebuah profesi.
Idealnya, guru adalah mampu menjadi teladan yng baik bagi anak didik dan masyarakat di lingkungannya. Namun era ini, tidak sedikit guru yng notebene telah disertifikasi serta diberi subsisi oleh pemerintah bahkan makin tidak banyak dari orang-orang yng mampu diteladani. Akibat krisi keteladanan ini, tak heran juga andai hingga era ini budaya ketidakjujuran dalam ujian masih menjamur di kalangan pelajar.
Terkadang, gaji serta uang sertifikasi yng sudah didapat malahan bahkan melenakan guru dari tugas serta tanggungjawabnya menjdai pengajar serta pendidik yng Perlu bekerja keras mencetak generasi-generasi bangsa yng cerdas secara intelektual, bermoral, serta berakhlakul karimah. Untuk itulah guru Perlu mensetting dirinya sendiri menjadi insan yng pantas bagi atau bisa juga dikatakan untuk diteladani oleh siswa-siswinya.
Hal yang telah di sebutkan di atas adalah indikasi dari krisis keteladanan, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, dan masyarakat luas. Banyak dari kita yng cuma mampu mengatakan namun tak mampu melakukan apa yng kita katakan.
Memang seharusnya seorang guru tak lemah secara finansial serta moral. Kondisi finansial yng serba kekurangan umumnya (tak selalu) berpengaruh pada profesionalismenya dalam mengajar menjadi berkurang, menjadikan hasil nya pun tidak lebih maksimal. Guru pun Perlu benar-benar mempunyai karakter yng patut diteladani oleh siswa-siswinya. Menjadi guru yng berkarakter bukan cuma kewajiban guru agama, akan tetapi pun kewajiban seluruh guru. Jika hal ini disadari serta dilaksanakan, insyaallah upaya pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan akan berjalan yang dengannya optimal. Ahmad Mujib Jumat, 04 Maret 2016 Pendidikan

Source Article and Picture : http://wikipendidikan.blogspot.com/2016/03/ketika-guru-adalah-profesi-salahkah.html

Seputar Ketika Guru adalah Profesi, Salahkah?

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Ketika Guru adalah Profesi, Salahkah?